Jawa Timur, buzzerindonesia.co.id — Mari menundukkan kepala dan memejamkan mata sejenak, lantunkan doa untuk mereka yang meninggal akibat kerusuhan yang salah penanganan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022), usai laga Arema berhadapan dengan Persebaya.
Lebih dari seratus nyawa hilang karena laga sepak bola yang tak pernah menghasilkan prestasi dunia bagi Indonesia. Pertandingan kandang tanpa kehadiran suporter lawan yang berakhir kalah, jadi pemicu pertama tragedi. Janji klub suporter untuk nihil insiden apalagi kerusuhan, kosong saja akhirnya.
Namun, gas air mata yang digunakan polisi untuk menghalau kerusuhan adalah hal terfatal yang menjadikan tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia—bahkan dunia—ini terjadi.
Dengan 129 orang meninggal hingga Minggu (2/10/2022) siang, tragedi di Stadion Kanjuruhan hanya kalah buruk dibanding tragedi di Guatemala pada 1996 yang menewaskan 147 orang, akibat kerusuhan terkait laga sepak bola di dunia dalam 40 tahun terakhir.
Baca Juga: Cara Agar Bisa Menjadi Trending Twitter
Angka korban meninggal dari tragedi Stadion Kanjuruhan masih terus bertambah hingga tulisan ini dibuat.
Kerusuhan laga sepak bola antara Spartak Moscow dan HFC Haarlem di Luzhniki Stadium, Moskwa, Rusia, pada Oktober 1982 diyakini menewaskan 340 orang. Namun, data resmi hanya menyebut 66 kematian.
Di Stadion Kanjuruhan, kepanikan akibat kerusuhan disiram dengan larutan yang memedihkan mata bahkan menyesakkan napas, menjadikan ribuan penonton bergerak serentak menyelamatkan diri masing-masing, berlarian, berdesakan, bertabrakan, berhimpitan, dan akhirnya mampat di pintu keluar stadion.
Mereka yang tumbang tak mendapat pertolongan segera, alih-alih terinjak-injak di jalur dan lokasi yang didera kepanikan dan perih karena larutan kimia yang bahkan sudah dilarang dipakai di medan perang.
Sekilas laga Arema vs Persebaya
Dua klub sepak bola Jawa Timur yang masing-masing punya sejarah panjang dan suporter fanatik, bertemu lagi di laga Liga 1 Indonesia 2022. Mereka punya sejarah panjang, termasuk dukungan fanatik suporter masing-masing.
Namun, laga Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) digelar tanpa kehadiran suporter Persebaya. Klub dari Surabaya ini baru kena sanksi tampil tanpa suporter untuk lima pertandingan, karena amukan pendukungnya dalam liga melawan Rans Nusantara di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 15 September 2022.
Hingga peluit panjang ditiup wasit setelah perpanjangan waktu, situasi masih kondusif. Arema kalah dari Persebaya dengan skor 2-3. Ini adalah kekalahan pertama laga kandang Arema berhadapan dengan Persebaya dalam 23 tahun.
Sejumlah Aremania—sebutan untuk suporter Arema—memang segera masuk ke lapangan ketika para pemain Arema menghaturkan salam ke para pendukung. Namun, mereka hanya hendak berbincang.
Saat itu, pemain Persebaya sudah berada di luar lapangan, sebagai bagian dari antisipasi keamanan.
Kerusuhan mulai terjadi ketika sebagian Aremania memasuki lapangan dengan membawa bendera Persebaya yang sudah dicoret-coret. Tak berselang lama, botol-botol minuman air mineral mulai dilemparkan ke arah lapangan. Polisi turun tangan.
Saat massa yang bergerombol sedang merasa jagoan dan memancing kerusuhan lebih liar, gas air mata mulai digunakan. Tembakan gas air mata menjangkau tribun penonton yang masih penuh. Tragedi pun terjadi.
Perkara gas air mata
Ada banyak nama dan sebutan untuk gas air mata. Dalam bahasa dokumen, gas air mata disebut dengan nama riot control agent (RCA). Zat kimia yang dipakai di dalam RCA juga tak satu jenis saja di dunia.
Yang paling umum, zat kimia yang dipakai dalam gas air mata adalah chloroacetophenone (CN) dan chlorobenzylidenemalononitrile (CS). Ada juga chloropicrin (PS) yang juga adalah fumigan dan jamak dipakai untuk pengasapan area, bromobenzilsianida (CA), dibenzoxazepine (CR), dan kombinasi aneka zat kimia.
Namun, fungsi gas air mata ini pada intinya sama, yaitu membuat orang untuk sementara tidak berdaya, karena iritasi di mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit. Efeknya bisa sementara saja buat sebagian orang, tetapi juga bisa fatal dari cacat permanen hingga meninggal bagi sebagian yang lain.
Yang kemudian jadi perkara, gas air mata sudah dilarang dipakai di perang sejak kesepakatan Geneva Gas Protocol pada 1925.
Masalahnya, larangan ini kemudian dinyatakan tak berlaku untuk penanganan kerusuhan massa, setidaknya merujuk pada konvensi senjata kimia pada 1993. Meskipun, pada konvensi 1993 itu juga gas air mata dinyatakan masuk kategori senjata kimia.
Pertanyaannya, apakah gas air mata benar-benar satu-satunya cara dan bahkan peranti yang sesegera mungkin dipakai dalam penanganan kerusuhan massa?
Khusus terkait laga sepak bola, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) sejatinya juga punya aturan soal penggunaan gas air mata. Sekalipun, keberpihakan aturan ini condong kepada keselamatan pemain dan official-nya.
Merujuk FIFA Stadium Safety and Security Regulations, penggunaan gas air mata dilarang di stadion, demi perlindungan pemain dan official serta menjaga ketertiban penonton. Perdebatan soal pengamanan laga sepak bola juga nyaris muncul di setiap diskusi persiapan perhelatan ajang internasional, seperti Piala Dunia.
Baca Juga: Cara Agar Bisa FYP Tiktok Dengan Cepat
Tak juga belajar dari tragedi dunia
Kerusuhan suporter sepak bola bukanlah kejadian tunggal di Kanjuruhan. Di Indonesia, kerusuhan suporter adalah kejadian yang lebih nyata dari prestasi olahraganya. Namun, di dunia pun kerusuhan suporter juga tak langka.
Meski demikian, sepertinya tak ada pelajaran dipetik dalam penanganan kerusuhan sepak bola di dunia terkait penggunaan gas air mata. Ada sederet kejadian di dunia yang telah menjadi contoh buruk tragedi akibat penggunaan zat kimia ini.
Salah satu contoh tragedi terkini adalah laga final Liga Champions di Paris, Perancis, antara Liverpool dan Real Madrid, pada 28 Mei 2022. Semula, suporter klub Liverpool yang memancing kerusuhan dituding sebagai biang kerok tragedi.
Belakangan, investigasi Senat Perancis menyatakan kesalahan ada pada penyelenggara dan otoritas keamanan sehingga tragedi yang “hanya” menewaskan dua orang itu terjadi.
Hampir persis seperti tragedi di Stadion Kanjuruhan, kerusuhan suporter yang berujung lontaran gas air mata otoritas keamanan di dalam stadion juga pernah terjadi di tengah laga penyisihan Piala Dunia, antara tim nasional Zimbabwe dan Afrika Selatan, di Stadion Harare, Zimbabwe, pada 2000.
Saat itu, 12 orang tewas. Stadion Harare pun langsung dinyatakan terlarang untuk pertandingan internasional, meski sekarang larangan sudah dicabut. Zimbabwe yang bahkan belum pernah lolos masuk laga utama Piala Dunia langsung dihujani aneka sanksi internasional.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah buka suara, Minggu (3/10/2022) dini hari. Investigasi dijanjikan akan digelar dan tuntas mengusut tragedi Stadion Kanjuruhan. Liga 1 pun dinyatakan akan dihentikan sementara selama satu pekan.
epolisian sudah pula menggelar jumpa pers dan menggulirkan versi kronologi tragedi Stadion Kanjuruhan. Hanya segelintir keterangan tentang penggunaan gas air mata dalam penanganan kerusuhan usai laga Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (2/10/2022).
Dari markas besarnya, FIFA telah mengarahkan mata ke Indonesia. Tim investigasi FIFA akan segera bertolak ke Indonesia, seturut tuntutan laporan lengkap tragedi ini diminta segera disampaikan ke federasi.
Media dan kantor berita internasional serentak menyorot tragedi Stadion Kanjuruhan. Tak kurang dari New York Times, Guardian, Reuters, dan Bloomberg, ada dalam daftar itu.
Amnesty Internasional sudah angkat suara juga, menyebut tragedi Stadion Kanjuruhan sebagai tragedi kemanusiaan dan menuntut investigasi menyeluruh terutama atas penggunaan gas air mata oleh polisi dalam penanganan kerusuhan usai laga Arema vs Persebaya tersebut.
Indonesia, ini duka kemanusiaan. Ini bukan sekadar duka laga sepak bola. Ini duka Indonesia. Ada koreksi besar yang harus dijalani bersama. Bila tidak, Indonesia hanya akan dicatat sebagai lokasi tragedi-tragedi, bahkan dalam sepak bola.
Sumber : bola.kompas.com